Loading...
Edukaislam.com - Untuk membedakan etika hedonisme perlu kiranya membedakan dengan sistem etika yang lain, karena setiap teori etika memiliki titik tekan masing-masing. Ada lima tipe umum teori etika.
Pertama, teori etika yang tertua hedonisme, teori yang berusaha untuk memandang upaya moral manusia dalam term prinsip-prinsip dasar bahwa kesenangan merupakan satu-satunya kebaikan bagi manusia.
Kedua, teori utilitarian, yang menekankan “salah” dan “benar” dari perbuatan manusia dilihat dari dampaknya terhadap banyak orang, yang dipandang baik atau buruk.
Ketiga, teori yang menyebutkan bahwa sumber bagi perbuatan etis adalah rasa kewajiban ide. Kewajiban merupakan hal yang mendasar. Teori ini yang disebut dengan deontologi yang berasal dari bahasa Yunani (deon), yang bermakna “kewajiban”. Keempat, teori idealis, yang mencari dasar perbuatan yang benar dan akhir yang baik dalam konteks relasinya dengan seluruh rangkaian kehidupan. Kelima, teori subyektifisme yang mencoba untuk menjelaskan pertimbangan-pertimbangan moral sebagai ekspresi subyektif dari perasaan atau emosi.
Secara umum, dari kelima tipe tersebut, pandangan-pandangan mengenai etika yang berkembang di belahan dunia ini dikelompokkan menjadi tiga: etika hedonistic, utilitarian, dan deontologist. Hedonisme mengarahkan etika kepada keperluan untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya kesenangan bagi manusia. Kesenangan dalam term hedonisme ini tidak sembarang kesenangan, tetapi kesenangan yang secara instrinsik diinginkan (intrinsically desirable).
Pandangan ini berangkat dari argumentasi bahwa sesuatu yang diinginkan (desirable), baik (good), atau bermanfaat (worthwhile), adalah ketika hal itu datang dengan sendirinya dan tanpa pertimbangan-pertimbangan tertentu. Banyak hal (misalnya, orang yang pergi ke dokter) termasuk dalam bermanfaat jika dilihat dari dampaknya, akan tetapi tidak akan ada seorangpun yang mengatakan bahwa pergi ke dokter itu adalah sesuatu yang secara intrinsik diinginkan.
Kaum hedonis tidak menyangkal bahwa terdapat sesuatu yang diinginkan, tetapi mereka menyangkal bahwa sesuatu itu secara intrinsik memang diinginkan. Kaum hedonist juga sepakat bahwa ada sesuatu yang bisa diinginkan secara instrumental, sekalipun tidak diinginkan secara intrinsik. Menurut mereka, memang tidak menutup kemungkinan bahwa terdapat sesuatu yang sama-sama diinginkan, baik secara instrumental maupun secara intrinsik. Sebuah pengalaman yang menyenangkan bisa menjadi baik dalam dirinya sendiri dan juga baik secara instrumental, jika, misalnya, ia menjadi relax dan mampu bekerja lebih baik pada hari berikutnya”. Singkatnya, batasan kesenangan menurut hedonisme adalah ketika kesenangan itu secara intrinsik diinginkan, bukan secara instrumental ataupun lainnya.
Pertanyaannya kemudian, apakah kesenangan indrawi hedonisme tersebut, tidak berseberangan dengan kesadaran moral? dan bagaimana jika kesenangan itu dikontraskan dengan kemauan akal?
Berpijak kepada batasan kesenangan di atas, dapat dikemukakan bahwa kesenangan indrawi dalam konteks hedonisme tidak berseberangan dengan kesadaran moral, kecuali kesadaran moral ini dikaitkan dengan dogma agama. Contohnya, jika sepasang laki-laki dan perempuan sepakat untuk berhubungan seksual tanpa melalui proses pernikahan sebagaimana lazimnya, dan mereka menyepakati bahwa apapun yang terjadi merupakan tanggung jawab mereka berdua, serta berkomitmen untuk tidak melibatkan pihak manapun, maka perbuatan mereka tidak melanggar kesadaran moral, sebab perbuatan itu dilakukan atas dasar suka sama suka dan juga tidak mengganggu orang lain.
Akal manusia pun tidak akan menyalahkan perbuatan itu. Alasannya, hubungan seksual merupakan kesenangan yang diinginkan secara instrinsik dan mungkin juga diinginkan secara instrumental, jika, misalnya, dengan berhubungan seksual itu seseorang bisa menjadi lebih konsentrasi dalam belajarnya. Perbuatan mereka akan berbeda jika dilihat dari kacamata agama, yang umumnya melarang hubungan seksual pra nikah; dan berbeda juga jika dilihat dari perspektif undang-undang negara yang menganggapnya sebagai perbuatan yang melanggar konstitusi. Pendek kata, kesenangan moral tidak akan berseberangan dengan kesadaran moral, dan juga tidak akan menyalahi kemauan akal.
Konsep kesenangan atau kebahagiaan etika hedonisme di atas cenderung bersifat individual. Karena itu, etika utilitarianistik kemudian mengoreksinya dengan menambahkan bahwa kesenangan atau kebahagiaan yang dihasilkan oleh suatu etika yang baik adalah kebahagiaan bagi banyak orang, dan bukan kesenangan atau kebahagiaan individual – yang di sisi lain, mungkin justru mengakibatkan kesengsaraan bagi banyak orang. Sementara itu, etika deontologis memandang bahwa sumber bagi perbuatan etis adalah rasa kewajiban. Sejalan dengan itu, aliran ini mempercayai bahwa sikap etis bersifat fitri, dan pada saat yang sama, tidak (murni) rasional. Pada kenyataannya, hasil pemikiran para filosof Barat mengenai etika sering merupakan irisan dari ketiga aliran besar itu. Dengan kata lain, pemikiran masing-masing mereka bisa mengandung prinsip-prinsip lebih dari satu aliran besar tersebut di atas.
Uraian di atas menggambarkan bahwa etika hedonisme dan utilitarianisme sejatinya saling berkaitan, karena dipengaruhi oleh latar belakang kemunculannya. Jeremy Bentham yang pertama kali melahirkan teori utilitarianisme didasari atas paham hedonisme. Menurut utilitarianisme, manusia harus bertindak sedemikian rupa sehingga menghasilkan akibat baik yang sebanyak mungkin dan sedapat mungkin mengelak dari akibat-akibat buruk. Kekhasan utilitarianisme adalah bahwa akibat baik itu tidak hanya dilihat dari sisi kepentingan si pelaku sendiri, melainkan dari sisi kepentingan banyak orang yang terkena akibat tindakan pelaku tersebut.
Dengan kata lain, utilitarianisme tidak lagi termasuk kelompok etika egois. Utilitarianisme bersifat universal, artinya ia mengaku adanya suatu kewajiban terhadap semua orang. Untuk menegaskan bahwa dalam segala tindakan kita harus selalu memperhatikan akibat-akibatnya bagi semua orang yang secara langsung atau tidak langsung terkena olehnya. Berbeda dengan egoisme etis, utilitarianisme membenarkan bahwa pengorbanan kepentingan atau nikmatnya sendiri demi orang lain dapat merupakan tindakan yang secara moral bernilai tinggi. Karena perspektifnya tidak egois, melainkan universal, wawasan utilitarianisme secara hakiki bersifat sosial. Jadi, utilitarianisme mempunyai unsur yang cocok bagi suatu moralitas manusia sebagai makhluk sosial.
Paparan di atas memperjelas bahwa etika hedonisme lebih bercorak individual. Ia hanya mencari kebahagiaan pribadi, bukan kebahagiaan orang banyak. Hedonisme sendiri muncul dengan beragam bentuk. Pertama, hedonisme etis, yang memandang bahwa manusia akan menjadi bahagia asal saja ia mengejar nikmat dan menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. Garis pokok argumentasinya adalah bahwa manusia akan bahagia apabila ia mencapai perasaan nikmat sebanyak mungkin dan menghindari perasaan-perasaan yang tidak enak.
Hedonisme ini secara paling jelas menyingkapkan sifatnya ketika mengajarkan bahwa kenikmatan itu sendiri adalah berharga, sehingga yang penting bukanlah sifat kenikmatannya, melainkan semata-mata jumlah kenikmatannya. Semakin banyak kenikmatan yang diperoleh, semakin baik bagi manusia yang bersangkutan; mengenai apakah yang dinikmatinya tidak dipersoalkan. Karena pemenuhan hasrat jasmani biasanya memberikan kepuasan yang paling menggairahkan, maka bentuk hedonisme semacam ini mengajarkan orang mengusahakan kenikmatan jasmani, yang mengingat sifatnya senantiasa merupakan kenikmatan sekejap. Ciri khas nikmat ialah bahwa ia berkaitan langsung dengan sebuah pengalaman, yaitu pengalaman terpenuhinya sebuah kecondongan; begitu pengalaman itu selesai, nikmat pun habis.
Kedua, hedonisme psikologis, yang mendasarkan diri pada suatu teori yang mengatakan bahwa manusia, bagaimanapun juga, selalu toh hanya mencari nikmat dan mau menghindari perasaan-perasaan yang tidak enak saja. Menurut hedonisme ini, selain tujuan-tujuan yang luhur (misalnya memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan) dan motivasi suci (misalnya menyebarkan agama, berdakwah), motivasi manusia yang sebenarnya adalah mencari nikmat saja. Jadi teori hedonisme psikologis adalah sebuah teori yang sinis, yang tidak percaya bahwa manusia dapat betul-betul tergerak oleh cita-cita yang luhur, misalnya dorongan untuk membantu orang lain dan sebagainya. Menurut teori ini, manusia pada hakekatnya seorang egois yang hanya mencari nikmat saja, tetapi menyembunyikannya di balik suatu tirai cita-cita suci.
Selain itu, memang harus diakui bahwa rasa nikmat serta kebalikannya, yaitu rasa sakit, merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia. Menurut kodratnya manusia cenderung mengingkari rasa sakit dan memandang rasa nikmat sebagai sesuatu yang berharga. Itulah sebabnya mengapa hedonisme teoritik dan terutama hedonisme praktik begitu tersebar luas.
Kenikmatan merupakan kenyataan hidup, dengan frekuensi, kadar, dan bentuk yang berbeda orang suka merasakan kenikmatan. Misalnya yang satu lebih cenderung pada kenikmatan dalam kadar yang berbeda, yang lainnya lebih pada kenikmatan yang mewah. Ada yang lebih suka kepada kesenangan jasmani, atau mungkin kenikmatan religius. Namun, apakah kenikmatan dapat dijadikan prinsip dan pegangan untuk menilai hal, perkara, dan perbuatan secara etis, sebagaimana yang dianut oleh hedonisme?
Bila mengacu kepada pandangan para tokohnya maka etika hedonisme tidak menganjurkan agar kita mengikuti segala dorongan nafsu begitu saja, melainkan agar kita dalam memenuhi keinginan-keinginan yang menghasilkan nikmat bersikap bijaksana dan seimbang dan selalu dapat menguasai diri.
PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Filsafat Etika Islam: Antara Al-Ghazali dan Kant, Bandung: Mizan, 2002
Audi, Robert, The Cambridge Dictionary of Philosophy, New York: Cambridge University Press, 1999
Aristoteles, Nichomachean Ethics: Sebuah Kitab Suci Etika, terj. Embun Kenyowati, Jakarta: Teraju Mizan, 2004
Bertens, K. Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Usama, 2002
_______, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1976
Duncan, A.R.C., Moral Philosophy, Canada: CBC Publications, 1970
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Yogyakarta: Kanisius, 1996
Kropotkin, Prince, Ethics Origin and Development, London: George G. Harrap & Co. LTD, tt.
Poespoprodjo, Wasito, Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung: Remadja Karya, 1988
Suseno, Franz Magnis, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1997
______, 13 Tokoh Etika sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 1997
Vos, H. De, Pengantar Etika, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002
Zubair, Ahmad Charris, Tinjauan Moral dan Kultural terhadap Hedonisme di Kalangan Generasi Muda, Jakarta: Teraju Mizan, 2005
PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Filsafat Etika Islam: Antara Al-Ghazali dan Kant, Bandung: Mizan, 2002
Audi, Robert, The Cambridge Dictionary of Philosophy, New York: Cambridge University Press, 1999
Aristoteles, Nichomachean Ethics: Sebuah Kitab Suci Etika, terj. Embun Kenyowati, Jakarta: Teraju Mizan, 2004
Bertens, K. Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Usama, 2002
_______, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1976
Duncan, A.R.C., Moral Philosophy, Canada: CBC Publications, 1970
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Yogyakarta: Kanisius, 1996
Kropotkin, Prince, Ethics Origin and Development, London: George G. Harrap & Co. LTD, tt.
Poespoprodjo, Wasito, Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung: Remadja Karya, 1988
Suseno, Franz Magnis, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1997
______, 13 Tokoh Etika sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 1997
Vos, H. De, Pengantar Etika, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002
Zubair, Ahmad Charris, Tinjauan Moral dan Kultural terhadap Hedonisme di Kalangan Generasi Muda, Jakarta: Teraju Mizan, 2005
Loading...