Pemikiran Ibnu Sina Tentang Filsafat Emanansi

Loading...

Edukaislam.com - Filsafat emanasi ini bukan hasil dari renungan Ibn Sina tetapi berasal dari “ramuan Plotinus” yang menyatakan bahwa alam ini terjadi karena pancaran dari Yang Esa. Kemudian filsafat Plotinus yang berprinsip bahwa dari yang satu hanya satu yang melimpah”. Ini diislamkan oleh Ibn Sina bahwa Allah menciptakan alam secara emanasi. 

Hal ini memungkinkan karena dalam al-Qur’an tidak ditemukan informasi yang rinci tentang penciptaan alam dari materi yang sudah ada atau dari tiadanya. Dengan demikian, walaupun prinsip Ibn Sina dan Plotinus sama, namun hasil dan tujuan berbeda. Oleh karena itu dapat dikatakan yang Esa menurut Plotinus sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi Allah pencipta yang aktif. Ia menciptakan alam dari materi yang sudah ada secara pancaran.

Adapun proses terjadinya pancaran itu tersebut adalah ketika Allah Wujud (bukan dari tiada) sebagai akal (‘aql) langsung memikirkan (ber-ta’aqqul) terhadap zat-Nya yang menjadi pemikirannya, maka memancarlah akal pertama. Dari akal pertama ini memancarlah akal kedua, jiwa pertama dan langit pertama. Demikianlah seterusnya sampai akal kesepuluh yang sudah lemah dayanya dan tidak dapat menghasilkan akal sejenisnya dan hanya menghasilkan jiwa kesepuluh, bumi, roh, materi pertama, yang menjadi dasar bagi keempat unsur pokok : air, udara, api, dan tanah.

Bagi Ibn Sina, akal pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin wujudnya jika di tinjau dari hakikat darinya. Dengan demikian, Ibn Sina membagi objek-objek pemikiran akal-akal menjadi tiga: Allah (wajib al-wujud li dzatihi), dirinya akal-akal (wajib al-wujud li ghairihi), sebagai pancaran dari Allah dan dirinya akal-akal (mumkin al-wujud).

Akal-akal dan planet-planet dalam emanai dipancarkan (diciptakan) Allah secara hirarki keadaan ini bisa terjadi karena ta’aqqul Allah tentang zatnya sebagai sumber energi yang maha dahsyat. Ta’aqqul Allah tentang zatnya adalah ilmu tentang dirinya dan ilmu adalah daya (al-qudrat) yang menciptakan segalanya. Agar sesuatu itu diciptakan, cukup sesuatu itu diketahui oleh Allah. Dari hasil ta’aqul Allah terhadap zatnya (energi) itulah diantaranya menjadi akal-akal, jiwa-jiwa, dan lainnya memadat menjadi planet-planet.

Emanasi Ibn Sina juga menghasilkan sepuluh akal dan sembilan planet dan akal kesepuluh mengurusi bumi. Bagi Ibn Sina masing-masing jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet, karena akal (immateri) tidak bisa langsung menggerakkan planet yang bersifat materi. Akal-akal adalah malaikat. Akal pertama adalah malaikat dan akal kesepuluh adalah malaikat Jibril yang bertugas mengatur bumi dan segala isinya.

Sejalan dengan filsafat emanasi, alam ini qadim karena diciptakan oleh Allah sejak qidam dan azali. Akan tetapi, tentu saja Ibn Sina membedakan antara qadimnya Allah dan alam. Perbedaan yang mendasar terletak pada sebab membuat alam terwujud. Keberadaan alam tidak didahului oleh zaman, maka alam qadim dari zaman Adapun dari segi esensi sebagai hasil ciptaan Allah secara pancaran alam ini baru (huduus zaaty). Sementara Allah adalah taqaddum zaaty. Ia sebab semua yang ada, Ia pencipta alam.


Pustaka : 

Glasse, Cyril. Ensiklopedi Islam Ringkas, cet. III; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.
Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Universitas Indonesia, 1983.
Sudarso. Filsafat Islam, cet. 1; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, cet. III; Jakarta: Kencana, 2007.
Asy-Syarafa, Ismail. Ensiklopedi Filsafat, cet. 1; Jakarta Timur: Khalifa Pustaka Al-Kautsar Grup, 2005.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya) cet. 1; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004


Loading...