Loading...
Edukaislam.com - Etika hedonisme merupakan teori etika yang paling kuno. Munculnya filsafat etika hedonisme sudah ditemukan pada Aristippos dari Kyrene (sekitar 433-355 S.M.), seorang murid Socrates. Ketika Socrates bertanya tentang apa tujuan akhir manusia, ia tidak memberikan jawaban. Ia hanya mengkritik jawaban-jawaban dari pertanyaannya tersebut.
Pertanyaannya dijawab Aristippos, bahwa yang sungguh baik bagi manusia adalah kesenangan. Ia menyamakan kebahagiaan dengan kesenangan. Ia menekankan lagi bahwa kesenangan harus dimengerti sebagai kesenangan aktual, bukan kesenangan dari masa lampau dan kesenangan di masa mendatang. Kebahagiaan atau kenikmatan yang baik dalam arti yang sebenarnya adalah kenikmatan kini dan di sini (sekarang). Menurut Aristippos kenikmatan hanya bersifat badani, aktual dan individual.
Kesenangan juga perlu dibatasi pada kesenangan yang mudah diraih, bukan yang diupayakan dengan kerja keras.
Aristippos mengajarkan bahwa kesenangan merupakan satu-satunya yang ingin dicari manusia. Aristippos mengajarkan “kenikmatan ada di tanganku, bukannya aku yang ada di tangan kenikmatan”. Selanjutnya jangan sampai terpaku pada peristiwa sekejap, melainkan hendaknya memandang kehidupan secara menyeluruh, karena yang utama adalah hasil akhir dari kenikmatan. Mazhab Aristippos juga menampilkan kaum hedonis yang mengajarkan bahwa tidaklah mungkin manusia selamanya terbebas dari rasa sakit. Salah seorang dari pengikut Aristippos, Hegesias bahkan mengatakan bahwatujuan tersebut baru akan tercapai setelah mati.
Paham tersebut di atas kemudian muncul kembali setelah Aristoteles pada masa Hellenism. Ketika itu Yunani dipimpin oleh pemerintahan Alexander Agung. Kekuasaannya melampaui seluruh wilayahYunani bahkan sampai di kerajaan timur. Sesudah kematian Alexander pada tahun 323 S.M. kesatuan politik kerajaan Yunani tidak terbatas lagi pada kota-kota Yunani, tetapi mencakup juga seluruh wilayah yang ditaklukkan Alexander.
Helenism, yang berasal dari kata hellenizein = berbahasa Yunani, adalah roh dan kebudayaan Yunani, yang sepanjang roh dan kebudayaan itu memberikan ciri-cirinya kepada para bangsa yang bukan Yunani di sekitar Lautan Tengah, mengadakan perubahan-perubahan di bidang kesusasteraan, agama dan keadaan bangsa-bangsa itu. Pada zaman ini ada perpindahan pemikiran filsafat, yaitu dari filsafat yang teoritis menjadi filsafat praktis. Dimana aliran-aliran filsafat yang berkembang pada masa ini antara lain: Epikurean, Staosisme, dan Skeptisisme.
Athena tetap merupakan suatu pusat yang penting dalam bidang filsafat, namun selain Athena, juga berkembang pula pusat-pusat intelektual lain, terutama kota Alexandria. Pada masa hellenis, justru tidak banyak muncul filosof-filosof besar, tetapi pengaruh filsafat sebagai salah satu unsure pendidikan, jauh lebih luas dari masa sebelumnya. Sekolah-sekolah filsafat di Athena, seperti Akademia dan Lykeion tetap meneruskan aktivitasnya. Tetapi juga didirikan beberapa sekolah baru.
Filsafat terus berkembang semakin luas menjadi suatu seni hidup.
Orang bijak adalah orang yang mengatur hidupnya menurut akal dan rasionya. Ada banyak aliran, semuanya berusaha menentukan cita-cita hidup manusia. Ada aliran-aliran yang bersifat etis, yang menekankan kepada persoalan-persoalan tentang kebijaksanaan hidup yang praktis, ada aliran-aliran yang diwarnai oleh agama. Namun yang ditekankan pada zaman ini umumnya persoalan etika: bagaimana manusia harus mengatur tingkah lakunya untuk hidup bahagia. Epikuros dan Stoa termasuk dalam aliran-aliran yang bersifat etis ini.
Epikuros (341-270 S.M) dilahirkan di Samos, tetapi mendapatkan pendidikan di Athena. Sebagai tokoh masa Hellenisme ia lebih memilih argumen rinci tentang Hedonisme, melanjutkan dan mengembangkan filsafat etika Aristippos, meskipun untuk sampai pada teori etikanya ia banyak dipengaruhi oleh teori fisika Demokritos tentang teori atom. Baginya kesenangan tetap menjadi sumber norma, tetapi tidak sekedar meliputi kesenangan jasmaniah semata-mata, sebab kesenangan ini akhirnya akan menimbulkan rasa sakit pula. Misalnya, terlalu banyak makan yang enak akan membuat sakit perut atau penyakit lainnya.
Bagi Epikuros, senang bermakna tidak adanya rasa sakit dalam badan dan tidak adanya kesulitan kejiwaan. Artinya, lebih mencari argumen yang menghilangkan segala kerisauan jiwa. Terlampau mengejar nilai kesenangan seperti uang, kehormatan, kekuasaan tidak akan menimbulkan kepuasan jiwa. Sehingga puncak hedone bagi Epikuros ialah ketenangan jiwa. Jiwa dapat meninjau kembali peristiwa-peristiwa yang menyenangkan. Jiwa dapat mengatasi keterbatasan jasmani manusia. Epikurisme merupakan bentuk hedonisme yang bercorak eudaimonistik.
Pandangan bahwa tercapainya kebahagiaan mesti menjadi tujuan kehidupan manusia dan bahwa oleh karena itu manusia hendaknya hidup dengan suatu cara yang mendekatkannya pada kebahagiaan tersebut. Etika yang membuat pencaharian kebahagiaan menjadi prinsip yang paling dasariah disebut eudemonisme (dari kata Yunani eudaimonia, kebahagiaan). Pertimbangan yang mendasari etika kebahagiaan itu mudah dimengerti: kebahagiaan adalah tujuan pada dirinya sendiri. Tidak ada yang mengatasinya. Orang yang sudah bahagia, tidak memerlukan apa-apa lagi. Tampaknya masuk akal kalau kehidupan diarahkan pada usaha untuk mencapai kebahagiaan. Berbeda seperti yang maksudkan oleh Aristoteles, bapak peletak dasar filsafat etika. Baginya eudaimonia merupakan suatu keadaan obyektif. Eudaimonia berarti mempunyai jiwa (daimon) dalam keadaan baik (eu).
Epikuros, dalam konsep etikanya, bermaksud memberikan ketenangan batin (ataraxia) kepada manusia. Hal ini disebabkan karena ketenangan batin itu diancam oleh ketakutan, yaitu ketakutan terhadap murka para dewa, terhadap maut, dan terhadap nasib. Bukankah para dewa tidak ikut campur dalam urusan dunia? Para dewa tidak menjadikan jagat raya dan tidak mengurusinya. Inilah pengaruh filsafat Demokritos terhadap Epikuros, yaitu tentang gerak atom-atom, satu-satunya etika yang sesuai dengan materialisme mekanistis.
Kaum Epikurean (murid, dan aliran-aliran Epikuros) adalah penganut kebebasan kehendak. Mereka mau menyelamatkan kebebasan manusia. Manusia bukan budak takdir, manusia dapat menentukan kehidupannya sendiri. Mereka juga melawan mitos-mitos keagamaan, ingin mencerahkan manusia, membebaskannya dari ketakutan-ketakutan terhadap dewa-dewa kematian, pengadilan sesudah mati, serta neraka. Kaum Epikurean adalah penganut deisme. Karena itu, manusia hendaknya mengatur hidupnya menurut kebijaksanaanya sendiri. Manusia yang bebas dari ancaman takhayul dan agama dituntun untuk mencari kebahagiaan. Bagi Epikuros, yang baik adalah yang menghasilkan nikmat, dan yang buruk adalah yang menghasilkan perasaan tidak enak.
Karena itu, Epikuros sangat menegaskan kebijaksanaan (phronesis). Orang bijaksana adalah seniman hidup. Ia pandai mempertimbangkan apakah ia memilih nikmat atau rasa sakit. Dapat saja terjadi bahwa memilih nikmat sesaat menghasilkan penderitaan kemudian, dan memilih perasaan sakit sesaat meningkatkan kenikmatan jangka panjang. Bukan perasaan-perasaan nikmat yang hanya sebentar saja yang menentukan apakah kita bahagia, melainkan nikmat yang bertahan selama seluruh kehidupan. Karena itu, Epikuros menganjurkan manusia selalu menguasai diri.
Orang yang bijaksana tidak akan memperbanyak kebutuhan, melainkan sebaliknya membatasi kebutuhan-kebutuhannya, agar dengan membatasi diri dapat menikmati kepuasan. Ia akan menghindari tindakan yang berlebihan. Untuk itu, perlu seni perhitungan (symmetresis) dapat mempertimbangkan segi-segi positif dan negative sehingga ia dapat memilih apa yang dalam jangka panjang lebih mendekatkan kita pada ataraxia.
Persamaan dan perbedaan pandangan etika hedonisme antara Aristippos dan Epikuros adalah keduanya mengajarkan teori tentang kenikmatan (hedone). Adapun perbedaannya bahwa menurut Aristippos kenikmatan badaniah lebih berbobot dibanding kenikmatan rohani, akan tetapi sebaliknya bagi Epikuros.
Aliran hedonisme dari Yunani kuno timbul kembali pada abad 18 M di Inggris dengan ungkapannya, bahwa kesenangan yang dianggap penting sebagai hasil dari setiap keputusan tindakan manusia. Tokoh yang terkenal ialah Jeremy Bentham (1748-1832). Namun Bentham lebih memperluas lagi filsafat etika hedonisme sebelumnya.
Bentham, dalam bukunya An Introduction to the Principles of Moral Legislation (1780) menulis,
“Nature has mankind place under governance of two sovereign matter, pain and pleasure. It’s for them alone to point out what we ought to do, as well as to determine what we shall do. On the other hand the standard of right and wrong, on the other chain of causes and effects, are fastened to their throne. They govern us in all we do, in all we say, in all we think”.
Sikap etis bagi Bentham adalah kemampuan menghitung dengan cermat rasa senang dan rasa sakit, sebagai hasil perbuatan untuk kemudian sebanyak mungkin rasa sakit menuju sebanyak-banyaknya rasa senang. Bahkan Bentham menawarkan konsep hedonistic calculus atau rumus menghitung rasa senang dan sakit.
Ukurannya meliputi tujuh unsure:
- 1) Intensity, kuat atau lemahnya rasa sakit dan senang,
- 2) Duration, panjang atau pendeknya waktu berlakunya rasa sakit atau senang,
- 3) Certainty, kepastian akan timbulnya rasa tersebut,
- 4) Propincuity, dekat atau jauhnya waktu terjadinya perasaan sakit dan senang,
- 5) Facundity, kemungkinan rasa sakit dan senang diikuti oleh perasaan yang sama,
- 6) Purity, kemurnian dalam arti tidak tercampurnya dengan perasaan yang berlawanan,
- 7) Extent, jumlah orang yang terkena perasaan itu. Enam unsur pertama tentang perbuatan yang menimbulkan rasa senang individual.
Unsur ketujuh menjadikan etik individual menjadi etik sosial. Bentham, dengan hedonistic calculus-nya, memberikan dasar matematis pada bidang etika yang dapat memberikan arah bagi perbuatan manusia.
Bentham selanjutnya melahirkan etika utilitarianisme sebagai pengembangan dari hedonisme. Ia merumuskan prinsip utilitarianisme sebagai “kebahagiaan yang sebesar mungkin bagi jumlah yang sebesar mungkin” (the greatest happiness for the greatest number). Apa yang dimaksud dengan kebahagiaan? Menurutnya, kehidupan manusia ditentukan oleh dua tetapan dasar: nikmat (pleasure) dan perasaan sakit (pain).
Karena itu, tujuan moral tindakan manusia adalah memaksimalkan perasaan nikmat dan meminimalkan perasaan sakit. Ia mengatakan bahwa kesenangan dan kesedihan seseorang bergantung kepada kebahagiaan dan kemakmuran pada umumnya dari seluruh masyarakat. Kebaikan moral suatu perbuatan ditentukan oleh kegunaannya atau kemanfaatannya dalam memajukan kesejahteraan bersama dari banyak orang. Tujuan dari hidup adalah kebahagiaan yang paling besar bagi jumlah banyak orang.
Aliran utilitarianisme mencapai perkembangan sepenuhnya dalam diri John Stuart Mill (1809-1873), namun masih dalam pengaruh hedonisme Bentham. Beberapa tuduhan yang ditolak Mill, antara lain bahwa utilitarianisme memandang kesenangan jasmani sebagai tujuan hidup manusia dan etika yang egois. Ia menegaskan bahwa yang dituntut oleh utilitarianisme bukan mengusahakan kebahagiaannya sendiri, melainkan agar manusia mengusahakan kebahagiaan sebesar-besarnya dari semua orang yang terkena dampak tindakannya.
Meskipun etika utilitarianisme Mill bersifat hedonistic—di mana nikmat diakui sebagai nilai akhir—, ia mempertahankan dan membenarkan kemungkinan untuk bertindak bukan egois, bahkan untuk berkorban demi orang lain. Mill menyadari bahwa dua hal itu tidak mudah dipertahankan bersama. Mill menjelaskan kemungkinan yang tampaknya kontradiktif itu dengan bantuan teori Asosiasi Psikologis. Teori itu sendiri berdasarkan pengandaian bahwa manusia secara kodrati bersifat social. Ia merasa nikmat jika orang lain nikmat.
Catatan Kaki :
K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 236
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1976), h. 16
K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 236
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1976), h. 16
Robert Audi, The Cambridge …, op.cit, h. 373
Aristoteles, Nichomachean Ethics: Sebuah Kitab Suci Etika, terj. Embun Kenyowati, (Jakarta: Teraju, 2004), hal. viii
Frans Magnes Suseno, 13 Tokoh Etika sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 50
Ahmad Charris Zubair, Tinjuan Moral dan Kultural terhadap Hedonisme di Kalangan Generasi Muda, (Jakarta: Teraju Mizan, 2005), hlm. 45
Suseno, 13 Tokoh…, op.cit, hlm. 180
Catatan Kaki :
K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 236
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1976), h. 16
K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 236
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1976), h. 16
Robert Audi, The Cambridge …, op.cit, h. 373
Aristoteles, Nichomachean Ethics: Sebuah Kitab Suci Etika, terj. Embun Kenyowati, (Jakarta: Teraju, 2004), hal. viii
Frans Magnes Suseno, 13 Tokoh Etika sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 50
Ahmad Charris Zubair, Tinjuan Moral dan Kultural terhadap Hedonisme di Kalangan Generasi Muda, (Jakarta: Teraju Mizan, 2005), hlm. 45
Suseno, 13 Tokoh…, op.cit, hlm. 180
Loading...