Macam-Macam dan Bentuk Tafsir bi al-Ma’tsur

Loading...


Edukaislam.com - Telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya tentang  apa itu tafsir bi al-Ma'tsur? Jika belum baca, silahkan baca dulu "Penegertian Tafsir bi al-Ma'Tsur". Nah kali ini kita bahas lagi tentang macam-macam dan bentuk Tafsir bi al-Ma'tsur. Berikut beberapa macam dan bentuk Tafsir bi al-Ma'tsur :

1. Penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat yang lain. Ayat-ayat al-Qur’an, 

Menurut para ahli tafsir, saling menafsirkan antara sesamanya. Penafsiran satu ayat dengan ayat lainnya juga bermacam-macam, yaitu:

Pertama, ayat atau ayat-ayat lain menyebarkan apa yang diungkapkan pada ayat tertentu. Misalnya, kata-kata al-Muttaqin (orang-orang yang bertaqwa) dalam ayat 2 surat al-Baqarah, dijabarkan ayat-ayat sesudahnya (ayat-ayat 3, 4, 5) yang menyatakan :

Kedua, ada informasi tertentu, misalnya tentang kisah Nabi Musa pada sur ah tertentu diungkapkan secara singkat, sementara pada surah lain secara panjang lebar. Dalam hal ini ayat-ayat yang panjang lebar menafsirkan ayat-ayat yang mengandung informasi yang lebih singkat.

Ketiga, ayat-ayat yang mujmal ditafsirkan oleh ayat-ayat yang mubayyan, ayat-ayat yang muthlaq ditafsirkan oleh ayat-ayat yang khas.Ringkasnya, ayat-ayat yang mengandung pengertian umum dan global ditafsirkan oleh ayat-ayat yang mengandung pengertian khusus dan rinci.

Keempat, informasi yang terkandung dalam satu ayat kadang-kadang terlihat berbeda dengan informasi yang terdapat pada ayat-ayat lain. Penafsiran ayat-ayat itu dilakukan dengan mengkompromikan pengertian-pengertian tersebut.

2. Penafsiran ayat al-Qur’an dengan hadits Nabi Saw.

Contohnya Firman Allah dalam QS. Al-An’am (6):82

الّذِيْنَ ءَامَنُو وَلَم يَلْبِسُو إِيْمَانَهُم بِظُلْمِ أُولئِكَ لَهُم الأَمَنُ وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ

Terjemahnya:

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezhaliman, mereka itulah orang-oarang yang mendapatkan kemenangan dan merekan orang-orang yang mendapat petunjuk.

Kata “al-Zuhulm” dalam ayat tersebut, dijelaskan oleh Rasulullah Saw dengan pengertian “al-Syirk” (kemusyrikan).

 Penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendapat para Sahabat.Sahabat adalah seorang yang hidup pada masa Rasulullah hidup, berjumpa dengan beliau, lalu beriman hingga akhir hidupnya. Mereka inilah yang menyaksikan langsung ketika ayat Al-Qur’an diturunkan, dan juga mengetahui asbāb an-Nuzūl. Sehingga bilamana tidak terdapat penjelasan dalam Al-Qur’an dan al-Hadits atas suatu ayat, maka disyaratkan untuk menafsirkan ayat tersebut dengan menggali pendapat para sahabat.Contohnya ketika Ibnu Abbas menafsirkan QS.al-Anfal ayat 41:

“ketahuilah sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan pada hamba kami Muhammad di hari Furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah maha kuasa atas segala sesuatu”.

Ayat di atas menjelaskan bahwa seperlima ghanimah dibagi untuk : Allah dan rasulnya,  kerabat rasul, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil. Sedang empat perlima ghanimah dibagi pada mereka yang ikut perang.Ketika rasulullah hidup seperlima ghanimah dibagi-bagikan kepada yang berhak menerimanya, seperti yang tercantum di atas.setelah Nabi wafat, gugurlah hak Nabi dan kerabatnya. hal ini berdasarkan pada tradisi para Sahabat: Abu bakar, Umar bin Khattab, ‘Utsmān ibn ‘Affān dan ‘Ali bin Abī Thālib di masa kekhalifahannya mereka membagi ghanimah kepada tiga bagian, yaitu untuk anak yatim yang bukan dari keluarga bani Muthalib, orang miskin yang bukan keluarga Bani Muthalib dan kepada Ibnu sabil yang lemah dan membutuhkan pertolongan

3. Penafsiran ayat dengan keterangan para tabi’in.

Apabila tidak pula terdapat penafsiran dari para Sahabat, disyaratkan untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan pendapat dari para Tabi’in.Diantara para Tabi’in ada yang menerima seluruh penafsiran dari Sahabat.Namun, tidak jarang pula yang mendapatkannya secara istinbat, yaitu penyimpulan, dan istidlal, yaitu penalaran dalil. Tetapi, yang dapat dijadikan pedoman hanyalah pada penafsiran yang dinukilkan secara sahih.Contohnya dalam Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 26 sebagai berikut :

“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan nyamuk atau yang lebih rendah dari itu.”
Menurut Hasan ‘Ibn Yahya, mengapa Allah menyebut nyamuk atau yang sebangsanya yaitu lalat dan laba-laba, kemudian orang musyrik berkata, mengapa Allah Swt menyebut sebangsa lalat dan laba-laba, menurut ‘Ibn `Abbas ini adalah merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah SWT.


Pustaka :

Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar ‘Ulūm al-Qur’an Praktis.(Jakarta: Pustaka Amani, 2001), h. 100.
Abdul Mustakim, Aliran-Aliran Tafsir, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), h. 43.

Loading...