Pemikiran Ibnu Sina tentang Filsafat Ketuhanan

Loading...


Edukaislam.com - Ibn Sina dalam membuktikan adanya Tuhan dengan dalil wâjib al-wujûd dan mumkin al-wujûd mengesankan duplikat al-Farabi. Sepertinya tidak ada tambahan sama sekali. Akan tetap, dalam filsafat wujudnya, bahwa segala yang ada ia bagi pada tiga tingkatan di pandang memiliki daya kreasi tersendiri sebagai berikut.

Wâjib al-wujûd, esensi yang tidak dapat tidak mesti mempunyai wujud. Di sini tidak bisa dipisahkan dari wujud, keduanya adalah sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya.

Lebih jauh Ibn Sina membagi wâjib al-wujûd kedalam wâjib al-wujûd bi dzâtihi dan wâjib al-wujûd bi ghairihi. Kategori yang pertama adalah yang wujudnya dengan sebab zatnya semata, mustahil jika diandaikan tidak ada. Kategori yang kedua adalah wujudnya yang terkait dengan sebab adanya sesuatu yang lain di luar zatnya. Dalam hal ini Allah termasuk pada yang pertama (wâjib al-wujûd li dzâtihi lâ li sya’in akhar).

Mumtani’ al-wujûd, esensi yang tidak dapat mempunyai wujud, seperti adanya sekarang ini juga kosmos lain di samping yang ada.

Sahabat edukaislam,com, Ibn Sina dalam membuktikan adanya Allah tidak perlu mencari dalil dengan salah satu makhluknya, tetapi cukup dengan dalil adanya wujud Pertama, yakni wâjib al-wujûd. Jagad raya ini mumkin al-wujûd yang memerlukan suatu sebab (‘illat) yang mengeluarkannya menjadi wujudnya tidak dari zatnya sendiri. 

Dengan demikian, dalam menetapkan Yang Pertama (Allah) kita tidak memerlukan perenungan selain terhadap wujud itu sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah satu makhluk-Nya. Meskipun makhluk itu bisa menjadi bukti wujud-Nya, namun pembuktian dengan dalil di atas, lebih kuat, lebih lengkap, dan sempurna. Kedua macam pembuktian tersebut telah digambarkan dalam al-qur’an dalam surat al-Fushshilat: 53 sebagai berikut:

Artinya: Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu.

Ibn Sina dalam menetapkan adanya Allah mengemukakan dalil ontologi yang sebelumnya telah dikemukakan al-Farabi. Sementara itu, ahli kalam biasanya mengemukakan dalil kosmologi dengan berpijak pada konsep alam baharu. Namun, dalil yang disebut terakhir ini sekalipun tidak memuaskan para filosof muslim, tetapi menurut Ibn Sina sangat cocok bagi orang  awam.

Tentang sifat-sifat Allah, Ibn Sina menyucikan Allah dari sifat segala sifat yang dikaitkan dengan esensi-Nya karena Allah Maha Esa dan Maha Sempurna. Ia adalah tunggal, tidak terdiri dari bagian-bagian. Jika sifat Allah dipisahkan dari zat-Nya, tentu akan membawa zat Allah menjadi pluralitas (ta’addud al-qudamâ).



Pustaka :

Glasse, Cyril. Ensiklopedi Islam Ringkas, cet. III; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Universitas Indonesia, 1983.
Sudarso. Filsafat Islam, cet. 1; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, cet. III; Jakarta: Kencana, 2007.
Asy-Syarafa, Ismail. Ensiklopedi Filsafat, cet. 1; Jakarta Timur: Khalifa Pustaka Al-Kautsar Grup, 2005.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya) cet. 1; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004
Loading...